Dunia Psikologi

AJARI IBU NAK......

Written by Soci Smart Psychologi Institute on Senin, 18 Oktober 2010 at 21.57

Belum habis bekas lelah yang dibawa dari kantor, terdengar suara gaduh anak-anak yang sungguh membangunkan amarah. Andai kemarahan itu lepas, apakah suara gaduh akan sirna..?. Ternyata tak selamanya. Bagi anak-anakku, amarah hanya membekaskan perubahan yang sifatnya sejenak. Sejenak berikutnya mereka akan kembali bertindak yang serupa. Sungguh tidak efektif. Tidak efektif bagi kesehatan dan keseimbangan emosiku dan emosi anak-anak sendiri. Tapi terkadang kendali itu lepas saat emosi tidak stabil dan kembali berbuah kerugian bagi diri dan anak. Ya.. kemarahan ternyata hanya membuat buram dan merenggangkan hubungan interaksi antara anak-orang tua padahal interaksi anak - orang tua merupakan moment yang dirindukan. Dirindukan karena interaksi itu merupakan kebutuhan anak dalam proses tumbuh kembangnya. Orang tua tak hanya wajib memenuhi kuantitas interaksi, tapi juga menciptakan suasana interaksi agar berkualitas, agar meninggalkan bekas yang positif dalam memorinya.



Buat kami yang keduanya bekerja, kualitas interaksi menjadi begitu penting karena begitu banyak waktu yang tersita untuk bekerja dan istirahat. Dalam seminggu, mulai hari Senin hingga Jum’at, kami hanya punya waktu bersama antara bangun subuh hingga jam sekolah, antara jam 16.30 (sepulang kerja) hingga waktu istirahat malam datang. Selebihnya.. mereka menghabiskan waktunya untuk berinteraksi dengan teman-guru di sekolah, teman di lingkungan rumah, eyang-atok-paman, dan dengan mimpi-mimpi dalam tidurnya.
Waktu kami yang sedikit tak memberi banyak pilihan untuk bermacam-macam aktivitas dalam interaksi dengan anak. Hal ini memaksa kami untuk kreatif agar waktu bersama menjadi bermanfaat dan berkesan. Salah satu cara Buyanya (sebutan Ayah) mengisi waktu luangnya bersama anak-anak adalah dengan bermain kunci-kuncian (salah satu anak dijepit Buya dengan kaki atau lengan, dan yang lainnya berusaha dengan sekuat tenaga melepaskan yang dijepit dengan berbagai cara, menggelitik, menarik tangan/kaki penjepit, bahkan ada yang coba-coba menggigit dan menarik rambut). Seru memang dan Fun..!. Hitung-hitung sekaligus buat pembakaran dalam tubuh karena keringat yang dihasilkan dari permainan itu lumayan banyak hingga membasahi baju. Disamping itu juga memupuk pentingnya nilai kerja sama dan kekompakan untuk mencapai tujuan yang sama. Truss.. tanpa disadari anak juga dibekali untuk internalisasi nilai-nilai baik dan buruk dalam bersikap dengan ajuan debat tindakan yang tidak pantas dilakukan. Dan yang pasti interaksi menjadi bermakna. Ini yang saya sebut interaksi yang berkualitas.
Kalau Uminya (Umi sebutan ibu-pen) lebih suka mengisi waktu bersama dengan kegiatan yang tidak mengeluarkan keringat. Misalnya mengajak anak-anak duduk bersama mendengar cerita karangan sendiri yang diisi dengan nilai-nilai etika perilaku. Seperti akibat mencuri madu yang dilakukan si beruang Bear, akibat menyakiti hewan oleh seorang pemburu, anak kucing yang harus menjaga kebersihan tubuhnya agar tak dijauhi teman, perlunya kecerdikan sang kancil untuk memecahkan masalah, dan lainnya. Jika kehabisan bahan cerita, buku-buku cerita anak dari berbagai toko bukupun dilahap juga. Cerita menjadi begitu menarik dan membuat mereka tak berkedip saat adegan di dalam cerita disuarakan seolah beneran. Harapan yang diambil dari situ, disamping merangsang imajinasi, anak-anak juga terlatih untuk konsentrasi mendengar cerita.
Untuk mengasah kepekaan sosial, seringkali anak-anak dilibatkan di saat berzakat, berinfaq atau bersedekah sambil memberi penjelasan sederhana tentang kondisi kesulitan orang-orang yang tidak mampu. Uang atau barang yang akan diinfakkan diserahkan oleh anak-anak sehingga mereka merasa menjadi pelaku langsung infaq atau sedekah. Dan ternyata hal ini membuat mereka senang dan peka dhu’afa. Di lain waktu, saat melihat orang kesusahan, mereka minta agar Buya-Umi nya menyisihkan uang untuk disumbang. Atau saat sholat Jum’at ke mesjid, mereka meminta uang untuk berinfaq.
Memberi teladan dan mengajak ikut bersama dalam ibadah atau bercerita sambil mengagumi kehebatan Sang Maha Pencipta juga dirasa efektif untuk mendidik anak-anak.
Selain itu... kalau belajar bersama, berenang rame-rame atau bepergian bersama ke sektor-sektor publik lainnya kayaknya klasik banget yaa... Artinya nggak perlu dibahas meski seringkali juga dilakoni dan perlu karena di dalamnya juga banyak moment-moment interaksi yang pantas dimanfaatkan dengan hal-hal yang berkualitas untuk menghiasi proses didik anak.
Dalam detik-detik melahirkan, membesarkan dan menjaga serta proses didik anak-anak, beragam rasa bercampur di situ. Ada sedih, terharu, tawa, takut, cemas, gemas dan tidak terkecuali ada marah. Berikut sedikit cerita pengalaman yang saat ini terasa lucu jika dikenang. Saat itu, sudah lama sekali, anak pertama dan kedua (Ridho dan Bagus) yang saat itu belum sekolah bertengkar, entah karena apa. Masing-masing bersikukuh mempertahankan diri sambil balas membalas, tak henti. Usahaku untuk melerai hingga teriakan keras keluar tak dihiraukan. Akhirnya aku menangis, benar-benar menangis, sambil berdo’a dengan suara kuat agar mereka disadarkan dan menjadi anak-anak yang sholih. Tiba-tiba mereka berhenti dan sama-sama memandangku. Mungkin mereka merasa aneh. Tapi selanjutnya mereka juga ikut menangis sambil membelai rambutku dan membujuk untuk tidak menangis serta berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi; at the End, aku terharu dan kembali menangis; lalu kami bertiga pun nangis bersama sambil pelukan. Tapi dasar anak-anak, besok-besok mereka kembali mengulanginya karena masing-masing merasa semua adalah miliknya dan yang lainnya hanya minjam dan numpang dengannya. Naluri anak-anak yang perlu berulang-ulang difahamkan untuk dirubah. Tapi dari kejadian itu, Uminya jadi nemu jurus jitu untuk menghentikan pertengkaran mereka : menangis sedih di depan mereka. Hitung-hitung sambil memancing dan mengasah kemampuan mereka berempati dengan orang-orang di sekitarnya.
Satu kisah lagi. Kejadian yang baru saja terjadi, semalam tanggal 21 Desember 2005. Sang Umi yang lagi menyusukan si Kecil ditanya si Sulung Ridho, “Apakah Umi suka gantungan kunci ini..?”. Uang Rp. 5000.- untuk membeli CD anak-anak yang sudah berusaha dikumpulkannya lima hari yang lalu, dibelikannya gantungan kunci yang tentu tidak sesuai dengan kebutuhannya yang masih anak-anak. Akupun menjawab, “Nggak...” sekenanya karena kuanggap itu pemborosan yang tidak perlu. Dia terdiam dan berlalu. Sedikit heran di benakku tapi tak sempat kutanya karena sibuk dengan adik kecilnya. Malamnya setelah dia tertidur, Bagus sang Adik berucap , “Umi, Mas Ridho punya hadiah di tasnya untuk Umi, untuk hari Ibu..” . Deg.. hatiku tiba-tiba diliput rasa bersalah yang bersangatan. Astaghfirullah.. Aku telah mengabaikan perhatian putraku untukku. Maafkan Umi sayang. Ternyata tak hanya anak yang perlu dididik, orang tua juga perlu terus belajar. Kisah barusan mengajarkanku untuk tidak melihat dasar perilaku anak dari kaca mata orang dewasa, tapi dari kaca mata anak-anak. Hal itu juga mengajarkanku untuk lebih sensitif dalam segala kepolosan dan keluguan anak-anak.
Ah.. anak-anak.. kalian memang makhluk yang unik, lucu, menarik dan menyenangkan meski kadang-kadang menggemaskan. Tak selayaknya kemarahan yang tak beralasan atau hukuman yang tak pantas hadir dalam hari-hari yang kau jalani. Seburuk apapun tingkah yang kau mainkan, dirimu tetaplah anak-anak dengan segala keriangannya dan jangkauan pemikirannya yang tetap saja kebocahan. Kau bukanlah makhluk dewasa yang terjebak di dalam tubuh mungilmu. Umurmu yang masih seumur jagung. Tak seharusnya kau dipaksa untuk bersikap dan berlaku seperti orang dewasa yang sudah dicekoki berbagai pengetahuan dan asam garamnya kehidupan. Kami orang tua kadang alpa melihatmu sesuai dengan kebocahanmu karena teramat banyak keinginan dan ambisi yang tertitip dalam diri kami, seolah kami memilikimu dan berhak atasmu, sementara sebenarnya kami hanyalah orang yang dititipi. Maafkan kemarahan kami yang kadang mendera jiwamu. Maafkan perhatian kami yang terbagi ke pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan masa depan.
Di hari ibu ini, sebagai seorang ibu.. aku hanya ingin bilang betapa inginnya aku agar putra-putriku menjadi anak sholih/sholihah yang berguna dan dicintai Robb-nya serta meraih kebahagiaan di dunia akhirat. Dan semoga tak akan terdengar lagi kisah-kisah memilukan tentang penyiksaan anak-anak yang hanya akan menyakiti hati para ibu.


Dikirim oleh : Ilmiah, S.Psi. (Bagian SDM)
Sebagaimana Telah Dikirim ke SDIT Al-Hijrah Medan sebagai nominator II

[+/-] Selengkapnya...

AGAR PERPUSTAKAAN TAK JADI KUBURAN

Written by Soci Smart Psychologi Institute on at 21.53

Hidup itu terbatas. Kita mendiami satu tubuh, satu pikiran, dan melihat dunia dengan sepasang mata. Melalui menulis dan membacalah dunia kita menjadi lebih terbuka. Kita menjadi lebih terbuka – dan dengan demikian menjadi tidak terbatas – dikarenakan dapat menggunakan ”mata” (pikiran) orang lain yang tersebar dimana-mana.
Joan Lingard

Buku adalah jendela dunia yang dapat membawa pembacanya bereksplorasi tanpa batas. Dalam Membaca ada proses pembelajaran, dan ini penting & bagus buat mendukung aktivitas. Salah satu upaya menggalakkan budaya membaca adalah membangun perpustakaan yang kaya koleksi referensi, yang terkini, yang menarik minat untuk diziarahi. Berikut kutipan dari Penulis Hernowo (2005) yang menawarkan tips-tips agar perpustakaan tak jadi kuburan.



Perpustakaan, dari zaman ke zaman, adalah "nyawa" kehidupan sebuah peradaban. Tidak ada peradaban di dunia yang berkembang dan terus membaik tanpa bermodalkan buku.
Pertanyaannya, apakah cukup hanya mendirikan bangunan fisik sebuah perpustakaan dan kemudian mengisinya dengan buku-buku bermutu? Untuk langkah awal, tentu, pendirian bangunan fisik amat perlu. Hanya, setelah bangunan berdiri, sebuah perpustakaan sangat layak untuk menjaga keberadaannya dengan kegiatan-kegiatan yang menggairahkan berkaitan dengan buku.
Menarik minat masyarakat untuk membaca pada zaman sekarang bukanlah pekerjaan mudah. Ada banyak "musuh" kegiatan membaca yang telah menyebar dan mengakar di tengah masyarakat. Kita bisa menyebut televisi--meskipun telah berjasa memberikan hiburan selama 24 jam full--sebagai salah satu "musuh" terbesar itu.
Namun, akan sangat membuang energi apabila kita hanya menyalahkan "musuh-musuh" kegiatan membaca. Alangkah bagusnya apabila energi yang kita miliki, kita coba gunakan untuk mencari sesuatu yang dapat membantu para pengelola perpustakaan, atau pihak-pihak lain yang concern terhadap bangkitnya minat membaca di masyarakat, agar lebih termotivasi untuk terus mau dan mampu "menghidupkan" perpustakaan hingga akhir zaman.
Berikut adalah beberapa usulan yang semoga dapat memberikan alternatif untuk "menghidupkan" perpustakaan. Usulan ini tentu bukan usulan final. Ini merupakan usulan yang dapat dipilih dan dipertimbangkan sesuai kemampuan dan ketersediaan dana yang ada. Usulan sengaja diurutkan dari yang paling mudah ke yang, mungkin, paling sulit dilaksanakan. Semoga bermanfaat.

1. Menempel poster orang-orang yang sukses lantaran kesuksesan itu mereka raih lewat membaca buku.

Bayangkan, di sebuah perpustakaan terdapat foto atau gambar Buya Hamka, Soekarno, Deliar Noer, Fuad Hassan, Nurcholish Madjid, Ratna Megawangi, atau tokoh-tokoh lain, yang terpampang dengan jelas dan kemudian setiap orang yang melihat foto atau gambar tersebut dapat memahami bahwa mereka sukses lantaran mereka menjalankan kegiatan membaca buku.

2. Menempel poster para penulis yang telah berhasil mewarnai dunia dengan karya-karya tulisnya.

Bayangkan pula, di sebuah ruang perpustakaan yang kecil namun nyaman, para pengunjung perpustakaan yang masih anak-anak dapat melihat sosok-hebat H.C. Andersen, Al-Ghazali, Anne Frank, R.A. Kartini, Jalaluddin Rumi, Annemarie Schimmel, Mohammad Hatta, J.K. Rowling, dan para penulis kondang lain, yang telah berjasa menyebarkan ilmu lewat buku-buku karyanya.

3. Ada kegiatan membaca dan menulis yang saling melengkapi dan mendukung.

Bayangkan pula, para pengunjung perpustakaan tidak hanya membaca buku namun juga disediakan meja untuk menuliskan ide-idenya, gara-gara pikirannya berinteraksi dengan pikiran para penulis buku yang dibacanya. Sebuah perpustakaan dapat melahirkan para penulis, apakah mungkin?

4. Menyediakan bahan bacaan yang lengkap, kaya, dan beragam, yang tak hanya buku.

Bayangkan, apabila ada perpustakaan untuk anak-anak yang dapat menarik minat para orangtua, paman dan bibi, dan anggota keluarga mereka yang lain untuk juga dapat mendapatkan bahan-bahan bacaan yang bagus dan bermutu? Bayangkan, jika di perpustakaan itu juga menyediakan bukan hanya buku tetapi publikasi lain, seperti katalog, buletin, ataupun berita-berita ringan tentang perkembangan teknologi informasi (komputer dan ponsel, misalnya)?

5. Ada teladan (role model) baca-tulis di perpustakaan yang dapat dilihat oleh pengunjung perpustakaan setiap hari.

Bayangkan, sebuah perpustakaan yang para pengelola perpustakaannya juga aktif membaca dan menulis? Di papan pengumuman atau majalah dinding perpustakaan tertempel tulisan-tulisan para pengelola perpustakaan yang mengabarkan tentang kehebatan sebuah buku baru yang baru tiba?

6. Ada, sesekali, pelatihan peningkatan keterampilan baca tulis untuk semua kalangan.

Bayangkan, apabila sesekali di sebuah ruang perpustakaan yang sempit diadakan pelatihan peningkatan keterampilan membaca dan menulis? Bagaimana mengenali buku yang bergizi, misalnya, dan bagaimana membaca dengan menggunakan keseluruhan komponen otak dan indra, misalnya lagi?

7. Ada tokoh masyarakat yang dihadirkan ke perpustakaan, dan tokoh itu memiliki minat dan perhatian yang besar terhadap tumbuh-berkembangnya kegiatan baca tulis di masyarakat luas.

Bayangkan, apabila proses "menghidupkan" perpustakaan ini juga didukung dan melibatkan para tokoh masyarakat, seperti lurah, camat, bupati, walikota, gubernur, pejabat negara, para guru, dosen, pengusaha, public figure, dan para selebriti? Bayangkan pula bahwa para tokoh masyarakat ini bukan hanya berdiri di pinggiran dan menyaksikan kegiatan perpustakaan itu dari luar. Namun, mereka benar-benar membenamkan diri dan memiliki jadwal khusus setiap minggu untuk ikut membaca dan menulis di sebuah perpustakaan. Apa yang akan terjadi dengan perpustakaan-perpustakaan kita apabila bayangan-bayangan itu mewujud nyata?

Semoga tulisan Hernowo di atas dapat mengilhami munculnya berbagai ide untuk membangun, memfungsikan dan menghidupkan perpustakaan sebagai media pembelajaran yang menarik bagi pengguna dari dalam (perusahaan) dan dari luar yaitu masyarakat sekitar sebagai satu wujud peduli lingkungan.


Dikirim oleh : Ilmiah, S. Psi.(Bagian SDM)

[+/-] Selengkapnya...

STATISTIK, RUMITKAH?

Written by Soci Smart Psychologi Institute on at 21.49

Dua kali sudah assessment dilaksanakan untuk mengetahui skor Baldrige sebagai gambaran posisi dalam persaingan bisnis. Dan.. hasilnya, ternyata masih sangat banyak yang perlu penataan kembali. Salah satu tuntutan MBCFPE (Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence) yang perlu dicermati adalah Management by fact, by data.
Tak terhindari bahwa saat ini, manajemen berbasis data sudah menjadi kebutuhan, bukan hanya sekedar tuntutan. Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisiran dan penggerakan), Actuating (implementasi operasional) dan Controlling (pengendalian) sebagai pilar manajemen tanpa dukungan perangkat data dan analisis serta evaluasinya akan menjadi kurang berkualitas dan tidak berdaya maksimal. Presentasi dalam meeting tanpa data dan hasil analisa yang akurat juga udah nggak zamannya lagi, alih-alih dianggap pepesan kosong lagi.



Bicara tentang analisa, berdasarkan jenis data, diklasifikasikan atas analisa kualitatif yang berbasis non angka (kalimat, simbol,dll) dan analisa kuantitatif yang berbasiskan kerja hitung menghitung angka. Untuk analisa kuantitatif yang sifatnya terapan biasanya dipakai Statistik.
Ya..di zaman yang serba management by fact, by data, peran Statistik menjadi penting. Tapi.. masih ada saja yang enggan kalo harus bersentuhan dengan Statistik, harus berhubungan dengan angka dan hitung-hitungan yang (katenye) ujung-ujungnya rumit. Rumitkah Statistik..?. Yuk sedikit bereksplorasi tentang serba-serbi statistik.
Di keseharian kerja, bidang apapun itu, biasanya angka tak pernah absen. Angka-angka tersebut dapat menjadi data yang bermakna, komunikatif dan informatif secara akurat sesuai tujuannya melalui pengolahan data, sebutlah di-statistikkan, secara benar dan tepat. Benar dan tepat dalam sampling, benar dan tepat dalam instrumen pengambilan data, benar dan tepat dalam pengendalian variabel-variabel terkait serta dalam pemilihan teknik statistik yang seyogianya relevan dengan tujuan analisa.
Beberapa tujuan sekaligus peran analisa dalam dunia kerja yang teramati yang sering dikaitkan dengan fungsi statistik dapat digambarkan sbb. :
1. Untuk membuktikan hipotesis dan mendapatkan kesimpulan atau mendukung keputusan yang cermat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, seperti : analisa hubungan antar variabel dengan analisa regresi, analisa perbedaan variabel dengan analisa varians, perhitungan index, koefisien dan lain-lain.
2. Sebagai alat komunikasi yang menggunakan angka sebagai mediumnya untuk menggambarkan kondisi tertentu, seperti: tabel, grafik, dll.
3. Sebagai tools untuk memprediksikan (forecasting) kondisi ke depan dan dasar planning seperti trend analysis, dll.
4. Untuk pengendalian operasional, seperti SPC (Statistical Process Control) dan Run Chart yang dapat secara rutin dilaksanakan di pabrik
5. Untuk menguji validitas dan reliabilitas alat ukur, misal : validitas & reliabilitas angket pengukur motivasi dan kepuasan karyawan, angket pengukur ketidakkepuasan konsumen, dll.

Setelah mengetahui untuk alasan apa analisis statistik dilaksanakan, diperlukan penentuan data (variabel) terkait. Sebagai pengolah angka, statistik hanya dapat menerima angka-angka sebagai data input dan menghasilkan output olahan data yang juga berupa angka. Data tersebut tidak hanya harus bersumber dari pengukuran dan pengamatan sesuatu yang sifatnya nyata (eksakta), seperti jumlah produksi dalam satuan ton, DRC (Dry Rubber Content) latex dalam satuan persen, dll. Data yang diperoleh dari pengukuran subjek yang sifatnya sosial juga dapat diolah dengan statistik, misalnya sikap, motivasi, kepuasan, ketidakpuasan, dll. Tetapi untuk ini, pengguna harus tau dan dapat mengkonversikan gejala sosial yang diamati ke dalam bentuk angka (skala) yang disebut kuantifikasi (pengangkaan). Langkah dan kualitas kerja kuantifikasi ini sangat menentukan kualitas output yang dihasilkan. Bahkan jauh lebih menentukan daripada teknik statistiknya. Tidak ada artinya menggunakan teknik statistik yang canggih kalau data yang diolah tidak merupakan hasil kuantifikasi yang cermat, teliti dan hati-hati, serta representatif baik secara operasional maupun konseptual. Karena hal tersebut tidak akan membantu kejelasan representasi gejala yang diamati, sehingga kesimpulan menjadi useless, tak bermanfaat.
Setelah data yang diinginkan terdefenisi, dilaksanakan pemilihan instrumen pengambilan data ataupun perancangan instrumen baru. Tahap ini pun mengambil porsi besar untuk mendapatkan kesimpulan akhir yang signifikan. Untuk data yang bersifat eksakta (pasti) semisal produktivitas kerja ataupun % TSC (Total Solid Content), pemilihan instrumen dan proses pengambilan data lebih simple jika dibandingkan data gejala sosial. Untuk menggali data yang bersifat sosial, biasanya digunakan angket (kuisioner) yang bahasanya harus nyambung dengan Subjek yang diukur, bebas budaya, dan gejala sosial yang diamati ter-cover di dalam item-itemnya sehingga mampu mengukur apa yang hendak diukur. Dalam hal ini, persyaratan item-item angket yang valid dan reliabel merupakan keharusan yang tak dapat ditawar lagi.
Tahap berikutnya adalah pemilihan metode sampling jika kuantitas populasi tidak memungkinkan untuk diamati secara keseluruhan. Kemudian dilanjutkan dengan proses pengambilan data dari sampel. Saat pengambilan data ini, kadangkala dibutuhkan pengendalian variabel kontrol (jika ada).
Selesai sudah tahap pengumpulan data. Data yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisis dengan teknik analisis Deskriptif dan atau Inferensial. Kata dan atau memungkinkan pengguna memilih salah satu atawa dua teknik tersebut sekaligus sesuai tujuan yang dinyatakan di langkah awal.
Teknik Deskriptif merupakan teknik statistik yang memberikan informasi hanya mengenai data yang dimiliki. Statistik deskriptif hanya dipergunakan untuk menyajikan dan menganalisa data agar lebih bermakna dan komunikatif dan biasanya disertai perhitungan sederhana yang bersifat lebih memperjelas keadaan atau karakteristik data yang bersangkutan seperti frekwensi kumulatif, persentase kumulatif, skor tertinggi/terendah, rata–rata hitung dll. Teknik analisa statistik ini dapat digunakan untuk penyajian data jumlah produksi per tahun, tingkat absensi karyawan per bulan dan per kebun, jumlah penjualan per komoditi dan sebagainya yang disajikan dalam bentuk tertentu seperti tabel dan grafik (histogram, poligon dll) plus perhitungan sederhana lainnya yang bersifat informatif & komunikatif sehingga mudah dan cepat dipahami.
Sedangkan Statistik Inferensial (induktif) berkaitan dengan analisa data (sampel) untuk kemudian dilakukan penyimpulan (inferensi) yang digeneralisasikan kepada keseluruhan subjek tempat data itu diambil (populasi). Penyimpulan dapat berupa ada tidaknya hubungan antar berbagai data, adanya perbedaan atau persamaan, peramalan, batas atas/bawah, dll. Teknik statistik yang dapat digunakan antara lain : Uji hipotesis, Anava, Anareg dan Korelasi, trend analysis, SPC, dll.
Teknik analisa data statistik yang telah dipilih sesuai tujuan menawarkan rumus-rumus perhitungan yang tidak rumit dan tak sulit untuk diikuti. Hare gene..Statistik bukan lagi merupakan barang mewah yang sulit difahami. Untuk memahami statistik tidaklah dibutuhkan konsep-konsep yang abstrak dan ’njlimet asalkan kita mau membuka diri, minat, kemauan dan kesadaran bahwa pengetahuan statistik menjadi tuntutan untuk berbagai keperluan.
Apalagi saat ini perangkat komputer tak asing lagi tuk diaplikasikan. Untuk menggarap data-data angka dengan statistik, meski angka-angka itu relatif cukup besar jumlahnya, kita dapat memanfaatkan jasa komputer secara cepat dan akurat, misalnya penggunaan program SPSS, program Excell, dll. Jadi, kita tidak perlu lagi terjebak berjam-jam atau berhari-hari mengolah angka-angka secara manual dengan kalkulator walau kemampuan seperti itu juga masih diperlukan.
Analisa data statistik menghasilkan keluaran (output) berupa index, koefisien, persentase, batas atas/bawah, dan sebagainya yang dinyatakan representatif atau mewakili karakteristik perangkat angka masukannya. Tapi tentu target analisa statistik tidak berhenti hanya di output angka perolehan analisa data.
Agar output olahan statistik bermanfaat sesuai tujuan pengguna, diperlukan pengetahuan dan kemampuan membaca dan menginterpretasikan hasil. Untuk interpretasi ini diperlukan wawasan dan kemampuan membaca situasi kondisi kerja yang ada terkait permasalahan yang dianalisa. Jika memungkinkan, background pendidikan formal tentang permasalahan yang dianalisa akan sangat mendukung interpretasi yang lebih baik lagi. Dengan begitu, diharapkan feedback hasil analisa akan berdayaguna dan berdampak bagi kinerja berupa peningkatan mutu dan produktivitas kerja/produk.
Secara konseptual, uraian di atas tentang analisa kuantitatif dengan statistik kayaknya nggak rumit-rumit amat untuk dilakoni. Kita hanya berurusan dengan masalah–masalah pembuatan instrumen, sampling & pengumpulan data, penyajian, pemilihan teknik dan pelaksanaan analisa serta interpretasi output analisa.
Terlepas dari itu semua, di era digital ini, di era management by fact/data, rumit atau tidak rumit, fungsi statistik ini menjadi perlu dan bahkan penting saat analisa kuantitatif dibutuhkan, setidaknya agar penyajian data atau hasil analisa lebih bermakna, berkualitas, akurat dan yang pasti lebih prof...lah; apakah itu untuk tujuan planning, pengambilan keputusan, pengendalian operasional, forecasting (peramalan) ataupun estimasi, penghitungan index atau analisis lainnya.
Hanya saja untuk ini, diperlukan SDM yang siap untuk berubah, untuk tak bosan mengisi kompetensinya dan untuk tak enggan bergaul bahkan dengan hal-hal yang berbau ke-rumit-an. Apalagi saat ini merupakan saat dimana PTPN III menerapkan PTB dalam manajemennya. Kini, SDM tak hanya berfungsi administrasi sebagaimana dulu, tetapi sudah berfungsi strategis. SDM yang ada harus berupaya dan atau diupayakan untuk menjadi knowledge worker agar dapat mengantar perusahaan menuju knowledge company dengan kriteria kinerja ekselen.
Untuk itu, perusahaan sudah menyediakan se-abreg fasilitas. Yang namanya Pelatihan hingga kini terus berjalan. Tawaran informasi tanpa batas ruang dan waktu lewat Internet ada. Perpustakaan PTPN III juga tersedia (cuma kelengkapan dan kesesuaian koleksi referensinya perlu dilacak kali yaa..). Majalah gratiss. Di luar itu, toko buku pun menjamur dimana-mana. Tinggal budaya Iqro’ (membaca) dimanapun & kapanpun dan keinginan memberikan yang terbaik (excellence) bagi perusahaan yang perlu dihidupkan dan diabadikan untuk memungkinkan segala perubahan yang dirasa tidak mungkin agar tak muncul kata “Rumit” atau “Enggan” atau merasa terbebani dengan suatu hal yang baru.
Yuk ... Mulai dari sekarang atau tertinggal.... ?

Oleh : Ilmiah,S. Psi. (Bagian SDM)

[+/-] Selengkapnya...

GENGSINYA INOVASI

Written by Soci Smart Psychologi Institute on at 21.35

Kriteria 5 Malcolm Baldrige Criteria For Performance Excellence (MBCFPE) point 5.1. Sistem Kerja menyebutkan bahwa untuk mencapai kinerja tinggi, manajemen harus mengorganisir dan me-manage kerja SDM yang ada dengan menggerakkan kerjasama, inisiatif dan inovasi. Sebegitu pentingnya inovasi bagi dinamisasi perusahaan.
Namun, tidak semua orang mampu berinovasi. Dan tidak semua orang yang mampu berinovasi berkenan atau malah kapok mengaktualisasikan inovasinya jika ia merasa bahwa inovasinya ternyata tidak dianggap ada. Belum lagi di saat kita ingin berkreasi, kita dianggap terlalu maju atau tak sesuai porsi. Cemoohan yang membuat inovasi menjadi terpasung. Karenanya sangat manusiawi jika manusia perlu dukungan untuk berinovasi.


Meski belum begitu populer, saat ini.. Inovasi mulai terasa akrab di telinga. Perusahaan telah memberi dukungannya berupa reward (penghargaan) atas inovasi dalam bentuk rupiah yang menggiurkan. Tapi, entah karena kurang sosialisasi, entah dikarenakan standard reward yang belum terukur, karyawan banyak yang nggak ngeh bentuk inovasi yang telah di-reward itu. Masalahkah ini ? Masalah manakala reward dimaksudkan untuk memacu motivasi karyawan agar ikut berinovasi dalam dunia kerja, agar inovasi tidak hanya tinggal sebutan tak berbekas dalam benak karyawan, esensinya tak sampai.
Baldrige (2004) mendefenisikan Inovasi sbb. : The term Innovation refers to making meaningful change to improve products, services, and/or processes and to create new value for stakeholders. (Inovasi berarti melakukan perubahan yang berarti bagi perkembangan produk, pelayanan dan/atau proses serta mampu menciptakan nilai baru bagi para stakeholder). Beberapa Stakeholder menurut dokumen aplikasi MBNQA PTPN III adalah : pelanggan, karyawan dan masyarakat sekitar.
Inovasi dimaksud tidak hanya harus berhubungan dengan inovasi teknologi, tetapi juga seluruh proses organisasi yang menguntungkan, baik melalui terobosan baru ataupun perubahan dalam pendekatan atau output, berupa produk baru, perubahan system ataupun proses produksi.
Selanjutnya, masih kata Baldrige (2004), proses inovasi melibatkan beberapa tahapan : pengembangan dan sharing pengetahuan, keputusan untuk implementasi, tahapan implementasi, evaluasi dan pembelajaran. Inovasi bukan lagi semata-mata milik departemen R&D, departemen yang dulu pernah ada di PTPN III yang salah satu fungsinya membidani kelahiran inovasi baru. Kini, siapapun karyawan PTPN III dapat bebas berinovasi bahkan digalakkan membuat terobosan untuk menghasilkan produk baru, perubahan system ataupun proses produksi sebagai buah kreativitas berfikir dan bertindak secara sistematis yang bermuara pada keuntungan perusahaan, meski sedikit.
Hanya saja, saat ini ‘media antara’ penyampaian inovasi belum jelas. Via Media Nusatiga? Tidak semua orang punya kemampuan menuangkan buah pikirannya dalam bahasa yang mengalir untuk difahami pembaca. Implementasi langsung atas dukungan yang belum jelas, mana mungkin. Ajang kompetisi? Dulu pernah ada. Sebutannya Konvensi GKM (Gugus Kendali Mutu) yang pernah sempat booming di PTP III. Tapi saat ini sebutan itu hilang seiring berjalannya waktu. Pelatihan yang berbau GKM yang dulu selalu dilaksanakan, kini juga kabur. Padahal alur proses dalam GKM nyaris menjiwai alur proses kelahiran inovasi sebagaimana kriteria Baldrige di atas.
GKM adalah sekelompok karyawan yang secara proaktif membahas dan memecahkan masalah-masalah dalam pekerjaan dan lingkungannya dengan tujuan meningkatkan mutu usaha. GKM mencerminkan nilai kerjasama, proaktif dan inovasi sekaligus yang merupakan bagian dari tata nilai (values) PTPN III.
Proses pemecahan masalah dalam GKM melibatkan delapan langkah dan tujuh alat (DELTA) dengan menggunakan daur PDCA (Plan Do Check Action). Tujuh alat terdiri dari : Stratifikasi, Check Sheet, Grafik, Diagram Pareto, Histogram, Fish Bone Diagram dan Scatter Diagram. Langkah pokok dalam delapan langkah meliputi : identifikasi masalah, analisa data dengan 5 dari 7 alat, analisa sebab dengan diagram tulang ikan dan scatter diagram, memeriksa hasil dan standardisasi.
Inovasi-inovasi yang muncul dari proses tersebut dikompetisikan antar kelompok antar unit dalam event Konvensi GKM melalui presentasi yang disajikan dengan menarik sesuai kreativitas masing-masing kelompok. Floor dapat berinteraksi langsung dengan penyaji melalui proses tanya jawab. Penilai yang ahli di bidangnya dengan teknik interview dan observasi langsung terus menilai hingga didapat kesimpulan akhir tentang siapa yang berhak memenangkan Konvensi tersebut. Pemenang disamping diberikan hadiah, selanjutnya dikirim mewakili perusahaan untuk event yang lebih tinggi levelnya. Mengikuti proses penilaian dalam Konvensi tersebut menarik dan floor pun berkesempatan merambah lebih jauh serba-serbi yang ada di unit.
Dengan adanya kompetisi ini, tanpa terasa inovasi melekat dan membudaya dalam dunia kerja dan menjadi kebutuhan serta bagian dari kegiatan kerja sehari-hari, karena haus untuk berinovasi dan berinovasi lagi. Minimalnya dengan kompetisi melalui event seperti konvensi GKM, dasar pemberian reward menjadi lebih terukur dan yang pasti lebih berarti.
Konvensi GKM adalah bagian dari masa lalu yang mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu solusi. Event-event lain yang berbeda tanpa menghilangkan esensi yang dimaksud mungkin bisa dijadikan alternatif pilihan sebagai media penggalak inovasi. Inovasi produk baru dengan feasibility study yang butuh basic pengetahuan yang lebih luas dan biaya yang lebih besar juga perlu media. Tinggal keseriusan manajemen dalam me-managenya agar cikal-cikal inovasi tidak habis terkubur oleh waktu seperti halnya Konvensi GKM yang dulu pernah ada.
Akhirnya, setelah semua pembahasan di atas, Penulis coba simpulkan bahwa dengan penghargaan melalui ajang kompetisi yang sehat atau event-event alternatif lainnya diharapkan akan memotivasi karyawan untuk berlomba berinovasi. Berlomba untuk gengsinya sang Inovasi yang identik dengan kualitas karyawan atau unit pemenangnya. Berlomba untuk menyandang gelar Never Ending Innovator dengan lahirnya banyak inovasi dalam berbagai bidang menuju kondisi yang lebih baik dan lebih baik lagi.


(Telah dikirim dan dimuat dalam Media Nusa Tiga Edisi September 2005)

[+/-] Selengkapnya...

Here We Are