Dunia Psikologi

AJARI IBU NAK......

Written by Soci Smart Psychologi Institute on Senin, 18 Oktober 2010 at 21.57

Belum habis bekas lelah yang dibawa dari kantor, terdengar suara gaduh anak-anak yang sungguh membangunkan amarah. Andai kemarahan itu lepas, apakah suara gaduh akan sirna..?. Ternyata tak selamanya. Bagi anak-anakku, amarah hanya membekaskan perubahan yang sifatnya sejenak. Sejenak berikutnya mereka akan kembali bertindak yang serupa. Sungguh tidak efektif. Tidak efektif bagi kesehatan dan keseimbangan emosiku dan emosi anak-anak sendiri. Tapi terkadang kendali itu lepas saat emosi tidak stabil dan kembali berbuah kerugian bagi diri dan anak. Ya.. kemarahan ternyata hanya membuat buram dan merenggangkan hubungan interaksi antara anak-orang tua padahal interaksi anak - orang tua merupakan moment yang dirindukan. Dirindukan karena interaksi itu merupakan kebutuhan anak dalam proses tumbuh kembangnya. Orang tua tak hanya wajib memenuhi kuantitas interaksi, tapi juga menciptakan suasana interaksi agar berkualitas, agar meninggalkan bekas yang positif dalam memorinya.



Buat kami yang keduanya bekerja, kualitas interaksi menjadi begitu penting karena begitu banyak waktu yang tersita untuk bekerja dan istirahat. Dalam seminggu, mulai hari Senin hingga Jum’at, kami hanya punya waktu bersama antara bangun subuh hingga jam sekolah, antara jam 16.30 (sepulang kerja) hingga waktu istirahat malam datang. Selebihnya.. mereka menghabiskan waktunya untuk berinteraksi dengan teman-guru di sekolah, teman di lingkungan rumah, eyang-atok-paman, dan dengan mimpi-mimpi dalam tidurnya.
Waktu kami yang sedikit tak memberi banyak pilihan untuk bermacam-macam aktivitas dalam interaksi dengan anak. Hal ini memaksa kami untuk kreatif agar waktu bersama menjadi bermanfaat dan berkesan. Salah satu cara Buyanya (sebutan Ayah) mengisi waktu luangnya bersama anak-anak adalah dengan bermain kunci-kuncian (salah satu anak dijepit Buya dengan kaki atau lengan, dan yang lainnya berusaha dengan sekuat tenaga melepaskan yang dijepit dengan berbagai cara, menggelitik, menarik tangan/kaki penjepit, bahkan ada yang coba-coba menggigit dan menarik rambut). Seru memang dan Fun..!. Hitung-hitung sekaligus buat pembakaran dalam tubuh karena keringat yang dihasilkan dari permainan itu lumayan banyak hingga membasahi baju. Disamping itu juga memupuk pentingnya nilai kerja sama dan kekompakan untuk mencapai tujuan yang sama. Truss.. tanpa disadari anak juga dibekali untuk internalisasi nilai-nilai baik dan buruk dalam bersikap dengan ajuan debat tindakan yang tidak pantas dilakukan. Dan yang pasti interaksi menjadi bermakna. Ini yang saya sebut interaksi yang berkualitas.
Kalau Uminya (Umi sebutan ibu-pen) lebih suka mengisi waktu bersama dengan kegiatan yang tidak mengeluarkan keringat. Misalnya mengajak anak-anak duduk bersama mendengar cerita karangan sendiri yang diisi dengan nilai-nilai etika perilaku. Seperti akibat mencuri madu yang dilakukan si beruang Bear, akibat menyakiti hewan oleh seorang pemburu, anak kucing yang harus menjaga kebersihan tubuhnya agar tak dijauhi teman, perlunya kecerdikan sang kancil untuk memecahkan masalah, dan lainnya. Jika kehabisan bahan cerita, buku-buku cerita anak dari berbagai toko bukupun dilahap juga. Cerita menjadi begitu menarik dan membuat mereka tak berkedip saat adegan di dalam cerita disuarakan seolah beneran. Harapan yang diambil dari situ, disamping merangsang imajinasi, anak-anak juga terlatih untuk konsentrasi mendengar cerita.
Untuk mengasah kepekaan sosial, seringkali anak-anak dilibatkan di saat berzakat, berinfaq atau bersedekah sambil memberi penjelasan sederhana tentang kondisi kesulitan orang-orang yang tidak mampu. Uang atau barang yang akan diinfakkan diserahkan oleh anak-anak sehingga mereka merasa menjadi pelaku langsung infaq atau sedekah. Dan ternyata hal ini membuat mereka senang dan peka dhu’afa. Di lain waktu, saat melihat orang kesusahan, mereka minta agar Buya-Umi nya menyisihkan uang untuk disumbang. Atau saat sholat Jum’at ke mesjid, mereka meminta uang untuk berinfaq.
Memberi teladan dan mengajak ikut bersama dalam ibadah atau bercerita sambil mengagumi kehebatan Sang Maha Pencipta juga dirasa efektif untuk mendidik anak-anak.
Selain itu... kalau belajar bersama, berenang rame-rame atau bepergian bersama ke sektor-sektor publik lainnya kayaknya klasik banget yaa... Artinya nggak perlu dibahas meski seringkali juga dilakoni dan perlu karena di dalamnya juga banyak moment-moment interaksi yang pantas dimanfaatkan dengan hal-hal yang berkualitas untuk menghiasi proses didik anak.
Dalam detik-detik melahirkan, membesarkan dan menjaga serta proses didik anak-anak, beragam rasa bercampur di situ. Ada sedih, terharu, tawa, takut, cemas, gemas dan tidak terkecuali ada marah. Berikut sedikit cerita pengalaman yang saat ini terasa lucu jika dikenang. Saat itu, sudah lama sekali, anak pertama dan kedua (Ridho dan Bagus) yang saat itu belum sekolah bertengkar, entah karena apa. Masing-masing bersikukuh mempertahankan diri sambil balas membalas, tak henti. Usahaku untuk melerai hingga teriakan keras keluar tak dihiraukan. Akhirnya aku menangis, benar-benar menangis, sambil berdo’a dengan suara kuat agar mereka disadarkan dan menjadi anak-anak yang sholih. Tiba-tiba mereka berhenti dan sama-sama memandangku. Mungkin mereka merasa aneh. Tapi selanjutnya mereka juga ikut menangis sambil membelai rambutku dan membujuk untuk tidak menangis serta berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi; at the End, aku terharu dan kembali menangis; lalu kami bertiga pun nangis bersama sambil pelukan. Tapi dasar anak-anak, besok-besok mereka kembali mengulanginya karena masing-masing merasa semua adalah miliknya dan yang lainnya hanya minjam dan numpang dengannya. Naluri anak-anak yang perlu berulang-ulang difahamkan untuk dirubah. Tapi dari kejadian itu, Uminya jadi nemu jurus jitu untuk menghentikan pertengkaran mereka : menangis sedih di depan mereka. Hitung-hitung sambil memancing dan mengasah kemampuan mereka berempati dengan orang-orang di sekitarnya.
Satu kisah lagi. Kejadian yang baru saja terjadi, semalam tanggal 21 Desember 2005. Sang Umi yang lagi menyusukan si Kecil ditanya si Sulung Ridho, “Apakah Umi suka gantungan kunci ini..?”. Uang Rp. 5000.- untuk membeli CD anak-anak yang sudah berusaha dikumpulkannya lima hari yang lalu, dibelikannya gantungan kunci yang tentu tidak sesuai dengan kebutuhannya yang masih anak-anak. Akupun menjawab, “Nggak...” sekenanya karena kuanggap itu pemborosan yang tidak perlu. Dia terdiam dan berlalu. Sedikit heran di benakku tapi tak sempat kutanya karena sibuk dengan adik kecilnya. Malamnya setelah dia tertidur, Bagus sang Adik berucap , “Umi, Mas Ridho punya hadiah di tasnya untuk Umi, untuk hari Ibu..” . Deg.. hatiku tiba-tiba diliput rasa bersalah yang bersangatan. Astaghfirullah.. Aku telah mengabaikan perhatian putraku untukku. Maafkan Umi sayang. Ternyata tak hanya anak yang perlu dididik, orang tua juga perlu terus belajar. Kisah barusan mengajarkanku untuk tidak melihat dasar perilaku anak dari kaca mata orang dewasa, tapi dari kaca mata anak-anak. Hal itu juga mengajarkanku untuk lebih sensitif dalam segala kepolosan dan keluguan anak-anak.
Ah.. anak-anak.. kalian memang makhluk yang unik, lucu, menarik dan menyenangkan meski kadang-kadang menggemaskan. Tak selayaknya kemarahan yang tak beralasan atau hukuman yang tak pantas hadir dalam hari-hari yang kau jalani. Seburuk apapun tingkah yang kau mainkan, dirimu tetaplah anak-anak dengan segala keriangannya dan jangkauan pemikirannya yang tetap saja kebocahan. Kau bukanlah makhluk dewasa yang terjebak di dalam tubuh mungilmu. Umurmu yang masih seumur jagung. Tak seharusnya kau dipaksa untuk bersikap dan berlaku seperti orang dewasa yang sudah dicekoki berbagai pengetahuan dan asam garamnya kehidupan. Kami orang tua kadang alpa melihatmu sesuai dengan kebocahanmu karena teramat banyak keinginan dan ambisi yang tertitip dalam diri kami, seolah kami memilikimu dan berhak atasmu, sementara sebenarnya kami hanyalah orang yang dititipi. Maafkan kemarahan kami yang kadang mendera jiwamu. Maafkan perhatian kami yang terbagi ke pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan masa depan.
Di hari ibu ini, sebagai seorang ibu.. aku hanya ingin bilang betapa inginnya aku agar putra-putriku menjadi anak sholih/sholihah yang berguna dan dicintai Robb-nya serta meraih kebahagiaan di dunia akhirat. Dan semoga tak akan terdengar lagi kisah-kisah memilukan tentang penyiksaan anak-anak yang hanya akan menyakiti hati para ibu.


Dikirim oleh : Ilmiah, S.Psi. (Bagian SDM)
Sebagaimana Telah Dikirim ke SDIT Al-Hijrah Medan sebagai nominator II

0 Responses to "AJARI IBU NAK......"

Here We Are